Inovasi dalam Pengelolaan Limbah di Kota Besar
sosial Uncategorized

Bukan Hanya Soal Uang, Ini 5 Tolak Ukur Seseorang Dikatakan Mampu Berhaji

Bukan Hanya Soal Uang, Ini 5 Tolak Ukur Seseorang Dikatakan Mampu Berhaji

Ibadah haji merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim yang telah memenuhi syarat. Salah satu syarat tersebut adalah mampu atau “istitha’ah”. Sayangnya, pemahaman umum masyarakat sering kali menyempitkan kata “mampu” hanya sebatas urusan finansial. Padahal, kemampuan berhaji memiliki cakupan yang lebih luas. Seseorang yang memiliki uang miliaran sekalipun belum tentu dikatakan mampu berhaji jika belum memenuhi beberapa aspek lainnya.

Dalam artikel ini, kita akan mengupas lima tolak ukur penting yang dijadikan pedoman dalam Islam untuk menentukan apakah seseorang sudah termasuk orang yang mampu berhaji atau belum.


1. Kemampuan Finansial yang Memadai

Tentu saja, aspek finansial tetap menjadi salah satu indikator utama. Namun, penting untuk memahami cakupan kemampuan finansial ini secara menyeluruh.

Dalam konteks ibadah haji, seseorang dikatakan mampu secara finansial apabila ia memiliki dana yang cukup untuk:

  • Biaya perjalanan haji (termasuk akomodasi, transportasi, dan keperluan selama di Tanah Suci).
  • Kebutuhan keluarga yang ditinggalkan, selama ia berada dalam perjalanan haji.
  • Pelunasan utang-utang penting, agar tidak meninggalkan kewajiban yang bisa membebani orang lain atau dirinya sendiri kelak.

Artinya, seseorang tidak dianjurkan memaksakan diri untuk berhaji dengan cara menjual rumah satu-satunya, berutang besar, atau mengorbankan nafkah keluarga. Islam memerintahkan haji hanya bagi yang benar-benar telah cukup secara finansial tanpa memberatkan diri.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Ali Imran ayat 97:

“Dan (diwajibkan) atas manusia untuk melaksanakan haji ke Baitullah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.”

Kata “mampu” dalam ayat ini bukan hanya sekadar punya uang untuk ongkos, tapi juga termasuk ketenangan finansial secara umum.


2. Kesehatan Jasmani dan Rohani yang Layak

Mampu secara fisik dan mental juga menjadi syarat penting dalam pelaksanaan ibadah haji. Rangkaian ibadah haji bukanlah perjalanan santai atau wisata rohani biasa. Ia penuh dengan aktivitas fisik yang menuntut energi dan stamina tinggi, seperti berjalan kaki dalam jarak jauh, bermalam di Mina dan Muzdalifah, melempar jumrah, serta tawaf dan sa’i di antara Shafa dan Marwah.

Jika seseorang memiliki kondisi fisik yang terlalu lemah, mengidap penyakit kronis yang mengancam keselamatan, atau gangguan mental yang membuatnya tidak bisa menjalankan ibadah dengan baik, maka ia belum dikategorikan “mampu”. Bahkan, dalam fikih haji, ada ketentuan bahwa orang yang benar-benar tidak mampu secara fisik boleh mewakilkan hajinya kepada orang lain melalui konsep “badal haji”.

Sebaliknya, orang yang masih muda, sehat, dan mampu secara fisik justru memiliki kewajiban yang lebih besar untuk menyegerakan haji ketika finansialnya memungkinkan.


3. Aman dan Nyaman dalam Perjalanan

Tolak ukur ketiga adalah keamanan perjalanan. Mampu tidak hanya menyangkut kesiapan dari dalam diri, tapi juga kondisi eksternal yang memungkinkan seseorang menjalankan ibadah dengan aman.

Dalam sejarah Islam, para ulama klasik mencatat bahwa kewajiban haji menjadi gugur sementara waktu apabila perjalanan menuju Mekah dipenuhi dengan marabahaya — seperti perang, perampokan, atau wabah yang mematikan. Hal ini menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan aspek keselamatan dalam pelaksanaan ibadah.

Dalam konteks masa kini, bentuk ancaman bisa berbeda, seperti:

  • Situasi politik atau keamanan negara asal atau negara tujuan.
  • Pandemi atau penyakit menular yang membahayakan jiwa.
  • Bencana alam atau gangguan besar lain yang menghambat pelaksanaan ibadah secara layak.

Apabila kondisi semacam ini terjadi, maka seseorang belum dianggap mampu secara syar’i, dan kewajiban hajinya dapat ditunda.


4. Pengetahuan dan Pemahaman yang Cukup tentang Haji

Haji bukan sekadar hadir secara fisik di Mekah dan mengikuti kerumunan. Ada tata cara, rukun, syarat, dan larangan yang harus diketahui agar ibadah haji sah dan diterima Allah SWT.

Seseorang dikatakan mampu berhaji apabila ia:

  • Memiliki pengetahuan dasar tentang rukun haji, syarat sahnya, dan waktu pelaksanaannya.
  • Mengerti makna-makna ibadah, tidak sekadar menjalankan ritual.
  • Siap secara mental dan spiritual untuk menjalani ibadah panjang dan melelahkan.

Bagi yang tidak memiliki pengetahuan ini, sangat disarankan mengikuti manasik haji terlebih dahulu. Dalam manasik, calon jamaah haji belajar praktik haji, mulai dari ihram hingga tahallul, termasuk juga adab dan etika saat berada di Tanah Suci.

Jika seseorang mampu secara finansial dan fisik tapi tidak punya bekal ilmu yang cukup serta enggan belajar, maka kualitas hajinya patut dipertanyakan. Bahkan, ia bisa jatuh pada kesalahan fatal yang membatalkan hajinya.


5. Kewajiban Lain Sudah Ditunaikan

Satu lagi tolak ukur penting adalah tidak memiliki kewajiban lain yang lebih mendesak atau belum ditunaikan. Hal ini sering kali luput dari perhatian. Contohnya:

  • Orang tua yang belum memenuhi kewajiban nafkah terhadap anak-anaknya.
  • Seseorang yang masih memiliki utang besar dan belum melunasinya.
  • Mereka yang masih punya tanggungan hukum seperti kasus pidana atau gugatan perdata.

Dalam Islam, pelaksanaan haji tidak boleh mengorbankan hak orang lain. Jika seseorang memilih berhaji sementara anak-anaknya tidak mendapatkan pendidikan dan kebutuhan dasar, maka hajinya patut dipertanyakan secara etis dan spiritual.

Demikian juga, melunasi utang menjadi lebih prioritas dibanding haji, selama utang tersebut wajib dan belum ditangguhkan.


Kesimpulan: Haji Adalah Kesiapan Menyeluruh

Dari penjelasan di atas, jelas bahwa syarat “istitha’ah” atau kemampuan berhaji dalam Islam bukanlah sebatas kemampuan finansial. Islam memandang manusia sebagai makhluk yang utuh — jasmani, rohani, sosial, dan spiritual. Oleh karena itu, kesiapan untuk berhaji mencakup:

  1. Kemampuan finansial yang tidak menyusahkan diri atau keluarga.
  2. Kesehatan fisik dan mental untuk menjalani ibadah.
  3. Keamanan dan kelayakan perjalanan.
  4. Ilmu dan pemahaman tentang tata cara ibadah.
  5. Bebas dari tanggungan atau kewajiban yang lebih utama.

Dengan memahami kelima tolak ukur ini, kita bisa lebih objektif dalam menilai diri: apakah kita benar-benar sudah mampu berhaji atau belum. Bagi yang belum memenuhi salah satu syarat, tidak perlu berkecil hati. Islam memberikan keringanan dan waktu untuk mempersiapkan diri.

Namun bagi yang sudah memenuhi semuanya, menunda-nunda haji tanpa alasan yang syar’i bisa menjadi dosa. Rasulullah SAW bersabda:

“Barang siapa ingin berhaji, maka hendaklah ia segera melakukannya, karena bisa jadi ia sakit, kendaraan hilang, atau ada keperluan lain yang menghalanginya.” (HR. Ahmad)


Penutup

Berhaji bukan hanya perjalanan fisik ke Tanah Suci, tetapi juga perjalanan spiritual menuju ridha Allah. Karenanya, persiapannya pun harus menyeluruh dan mendalam. Memastikan bahwa kita benar-benar “mampu” bukan hanya akan membuat ibadah kita sah, tetapi juga bermakna dan penuh keberkahan.

Semoga kita semua diberi kemudahan dan kesempatan untuk memenuhi rukun Islam yang kelima ini dengan kesiapan yang utuh. Aamiin.

Baca Juga : Kebijakan Pemerintah dalam Meningkatkan Infrastruktur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *